Faktor Pendukung Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut |
Kebakaran hutan tropika terbesar yang terjadi pada tahun 1982/1983
berlangsungnya di Kalimantan Timur, kebakaran tersebut membakar
kawasan hutan kurang lebih 3,6 juta ha dengan hutan/lahan rawa gambut
yang terbakar seluas 550.000 ha (KLH-UNDP, 1998). Kebakaran tidak
hanya terjadi di Kaltim, tapi juga di tempat-tempat lain di Kalimantan
maupun Sumatera, terutama yang bergambut. Kebakaran tersebut terjadi
pada musim kemarau secara berulang dari tahun ke tahun bagaikan
penyakit menahun yang sulit disembuhkan; terutama pada tahun 1982,
1991, 1994, 1997/1998 dan tahun 2002. Pada tahun 1997/1998, Indonesia
mengalami kebakaran hutan dan lahan yang paling parah di seluruh dunia.
Lebih dari 2.000.000 ha lahan gambut telah terbakar dan diduga menjadi
salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang cukup besar bagi
perubahan iklim global. Berdasarkan investigasi yang telah dilakukan
oleh berbagai pihak, areal hutan dan lahan gambut yang telah terbakar
pada tahun 1997/1998 meliputi wilayah Sumatera, Kalimantan dan Papua
(lihat Tabel 3), meskipun tidak menutup kemungkinan terjadi kebakaran
hutan dan lahan gambut di wilayah lain tetapi tidak teramati. |
||||
Areal rawa gambut tergolong dalam lahan basah dimana akan mengalami
genangan tiap tahunnya, meskipun demikian disaat musim kemarau akan
menjadi areal kering yang rawan terjadi kebakaran. Tingkat kerawanan terjadinya
kebakaran hutan dan lahan gambut
dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya: |
||||
Kondisi Iklim |
||||
Kondisi iklim terutama pada periode dimana curah hujannya rendah
merupakan salah satu pendorong terjadinya kebakaran. Kerawanan
terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut tertinggi terjadi pada musim
kemarau dimana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas matahari
tinggi. Kondisi ini pada umumnya terjadi antara bulan Juni hingga Oktober
dan kadang pula terjadi pada bulan Mei sampai November. Kerawanan
kebakaran semakin tinggi akan terjadi jika ditemukan adanya gejala El Nino.
Gejala fenomena ini merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya
kebakaran hebat di tahun 1997/1998, dimana pada saat itu Australia dan
Afrika bagian selatan mengalami kekeringan dan menyebabkan
meningkatnya suhu di Asia. El Nino adalah fenomena alam yang dicirikan
dengan memanasnya temperatur laut secara tidak wajar di daerah Pasifik
katulistiwa. El Nino terjadi dalam interval waktu 4 atau 5 tahun sekali. |
||||
Kerawanan terjadinya kebakaran akan mulai berkurang pada kondisi dimana
mulai turun hujan, yaitu pada bulan-bulan tertentu dimana tergolong musim
hujan tapi kadang-kadang terdapat beberapa hari tidak turun hujan. Pada
kondisi seperti ini masih memungkinkan terjadinya pengeringan bahan bakar
sehingga dapat saja terjadi kebakaran. Peristiwa kebakaran akan sangat rendah apabila musim hujan telah stabil,
dimana hampir setiap hari turun hujan. Pada kondisi ini hutan dan lahan
gambut akan tergenang oleh air sehingga bahan bakar mempunyai kadar
air tinggi dan sulit terbakar. |
Kondisi Fisik |
|||
Kondisi fisik lahan dan hutan yang telah terdegradasi merupakan salah satu
faktor pemicu terjadinya kebakaran. Terdegradasinya hutan dan lahan gambut
dapat disebabkan oleh aktivitas illegal logging, konversi lahan dan hutan
gambut untuk pemukiman, persawahan, perkebunan dan pertambangan.
Selain itu, keberadaan parit/saluran yang dibuat oleh masyarakat untuk
mengeluarkan kayu dari hutan juga memperparah tingkat kerusakan lahan
gambut. Illegal logging telah menyebabkan hutan terbuka dan
terakumulasinya limbah hasil logging yang menjadi sumber bahan bakar.
Konversi lahan dan hutan gambut menjadi pemukiman, persawahan dan sebagainya. |
||||
Kondisi Ekonomi, Sosial dan Budaya |
Areal gambut umumnya merupakan lahan rawa yang miskin hara dan
tergenang air setiap tahunnya sehingga kurang cocok bagi pertanian. Oleh
karena itu, kondisi demikian memaksa masyarakat untuk mempertahankan
hidupnya hanya dengan berburu satwa liar, menangkap ikan dan menebang
kayu secara ilegal (illegal logging). Kegiatan illegal logging belakangan ini telah agak berkurang,
diantaranya disebabkan oleh
telah habisnya pohon-pohon
komersial di dalam lokasi hutan
sehingga untuk mendapatkan
pohon komersial mereka harus masuk sangat jauh ke dalam hutan dan dengan akses yang lebih sulit,
selain itu diduga telah terjadi peningkatan kesadaran masyarakat akan
dampak illegal logging sebagai hasil dari kegiatan penyuluhan dan bimbingan
yang telah dilakukan baik oleh beberapa LSM maupun pemerintah serta
meningkatnya kesadaran mereka akan dampak negatif akibat penebangan
yang mereka rasakan secara langsung. |
|||
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Wetlands International –
Indonesia Programme di Bagian Hutan Perian PT. ITCI, Kalimantan Timur
pada tahun 2000 dilaporkan bahwa hutan rawa gambut memiliki manfaat
ekonomi secara langsung yang cukup besar, yakni Rp 8.128.141.017 per
tahun (Tabel 4). Nilai produksi terbesar berasal dari hasil perikanan (70,2%)
yang digunakan untuk kepentingan komersial dan pemenuhan kebutuhan
subsisten. Nilai produksi lainnya berupa kayu sebesar 27,707%. |
Artikel Terkait : |
Bentuk Struktur Organisaisi Badan Lingkungan Hidup Daerah . |